
Satu Siswa Kabur, Isu Pembinaan Disorot
Belakangan ini, publik dikejutkan oleh kabar mengenai seorang siswa yang kabur saat menjalani pembinaan di barak militer milik TNI. Kasus ini terjadi setelah siswa tersebut, bersama beberapa rekan lainnya, dikirim ke markas TNI sebagai bentuk “pendisiplinan” akibat pelanggaran tata tertib di sekolah.
Namun, alih-alih menjadi solusi, insiden ini justru menimbulkan kekhawatiran baru, terutama dari sisi kesehatan mental dan perlindungan anak.
Tujuan Awal Dipertanyakan
Menurut pihak sekolah, pengiriman ke barak TNI bertujuan untuk membentuk kedisiplinan dan tanggung jawab. Metode ini memang sempat populer di beberapa daerah sebagai upaya pembinaan alternatif. Namun, para ahli mulai mempertanyakan efektivitas serta dampak jangka panjang terhadap psikologis anak.
Salah satu pengamat pendidikan dan anak, Dr. Yuliana Pratama, menilai bahwa pendekatan semacam ini bisa menjadi bumerang. “Anak-anak berada dalam fase pertumbuhan mental yang sangat rentan. Memberikan tekanan fisik dan emosional justru bisa menimbulkan trauma,” ungkapnya saat diwawancarai media nasional.
Risiko Psikologis Tidak Bisa Diabaikan
Anak yang kabur diduga mengalami tekanan mental selama masa “pembinaan”. Hal ini menunjukkan bahwa bukan semua siswa bisa menerima pendekatan militeristik sebagai solusi pendisiplinan. Rasa takut, tekanan sosial, dan ketidaknyamanan lingkungan bisa memicu reaksi negatif yang justru merugikan perkembangan mental anak.
Menurut psikolog anak, tekanan seperti ini bisa menimbulkan rasa tidak aman, gangguan tidur, dan bahkan gangguan kecemasan di masa depan. Apalagi, jika tidak disertai dengan pendekatan psikologis dan dukungan emosional yang tepat.
Perlu Evaluasi Sistem Pembinaan Sekolah
Dengan adanya insiden ini, banyak pihak mendesak agar sistem pembinaan siswa di sekolah dievaluasi kembali. Alih-alih mengadopsi pendekatan militer yang keras, seharusnya sekolah menerapkan pendekatan edukatif dan dialogis yang mengedepankan empati.
Sebagai alternatif, program pembinaan berbasis konseling, pelatihan karakter, atau aktivitas komunitas dinilai lebih efektif dalam membentuk kepribadian siswa secara positif tanpa menciptakan tekanan berlebihan.
Kesimpulan: Kedisiplinan Tak Harus Lewat Kekerasan
Kasus siswa yang kabur dari barak TNI menjadi alarm keras bagi dunia pendidikan. Mendidik bukan berarti menakuti, dan kedisiplinan tidak harus ditanamkan lewat tekanan fisik. Anak-anak adalah generasi penerus yang membutuhkan bimbingan, bukan intimidasi.
Pemerintah, sekolah, dan orang tua harus bersama-sama mengevaluasi metode pembinaan yang digunakan. Saatnya beralih ke pendekatan yang lebih manusiawi dan sesuai dengan perkembangan zaman—agar pendidikan benar-benar mencetak pribadi unggul, bukan korban tekanan.