
Rencana Presiden Terpilih Prabowo Subianto untuk menghapus sistem outsourcing menjadi sorotan tajam di tengah masyarakat dan pelaku industri. Janji ini menandai perubahan besar dalam dunia ketenagakerjaan Indonesia. Namun sebelum sistem ini benar-benar dihapus, penting untuk memahami bagaimana outsourcing hadir dan berkembang di Indonesia.
Awal Mula Sistem Outsourcing di Indonesia
Sistem outsourcing mulai dikenal luas di Indonesia pada era 1990-an, ketika perusahaan mulai mencari cara untuk menekan biaya produksi dan meningkatkan efisiensi. Dalam praktiknya, perusahaan menyerahkan sebagian pekerjaan—terutama pekerjaan non-inti seperti keamanan, kebersihan, hingga call center—kepada pihak ketiga atau vendor.
Penerapan sistem ini kemudian mendapat payung hukum melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya Pasal 64 hingga 66. Melalui regulasi ini, outsourcing menjadi legal dan bahkan terus tumbuh, terutama di sektor industri dan jasa.
Alasan Outsourcing Menuai Kontroversi
Seiring waktu, sistem outsourcing menuai banyak kritik. Meski dianggap efisien bagi pengusaha, sistem ini sering kali dianggap merugikan pekerja. Beberapa alasan utamanya antara lain:
- Pekerja outsourcing kerap menerima upah lebih rendah dibandingkan pekerja tetap.
- Tidak ada kepastian kerja, karena kontrak bisa diputus sewaktu-waktu.
- Minimnya jaminan sosial dan tunjangan yang layak.
- Rentan terhadap pelanggaran hak normatif tenaga kerja.
Karena itu, banyak serikat buruh menuntut agar sistem ini dihapus dan digantikan dengan pola kerja yang lebih adil dan berpihak pada pekerja.
Omnibus Law dan Penguatan Sistem Outsourcing
Ironisnya, alih-alih dihapus, sistem outsourcing justru semakin diperkuat melalui UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang disahkan pada tahun 2020. Dalam undang-undang tersebut, batasan jenis pekerjaan yang bisa di-outsourcing-kan menjadi lebih longgar, yang artinya hampir semua jenis pekerjaan bisa diserahkan kepada pihak ketiga.
Langkah ini menuai gelombang penolakan besar dari kalangan pekerja dan aktivis ketenagakerjaan. Mereka menilai regulasi ini memperburuk nasib buruh dan memperpanjang ketimpangan dalam hubungan kerja.
Prabowo Janjikan Penghapusan Outsourcing: Apa Dampaknya?
Dalam visi-misinya untuk periode 2024–2029, Prabowo menyatakan niatnya untuk menghapus sistem outsourcing, terutama bagi pekerjaan yang bersifat tetap dan berkelanjutan. Janji ini mendapat respons positif dari berbagai kalangan buruh.
Jika benar-benar diimplementasikan, langkah ini akan:
- Meningkatkan perlindungan tenaga kerja, terutama dalam hal upah dan jaminan sosial.
- Memaksa perusahaan untuk merekrut langsung karyawan alih-alih lewat pihak ketiga.
- Mendorong terciptanya hubungan industrial yang lebih adil dan berkelanjutan.
Namun, transisi ini juga akan menantang dunia usaha yang selama ini mengandalkan fleksibilitas sistem outsourcing untuk mengurangi beban biaya operasional.
Kesimpulan: Akankah Sejarah Outsourcing Berakhir?
Setelah puluhan tahun menjadi bagian dari sistem ketenagakerjaan Indonesia, masa depan outsourcing kini berada di ujung tanduk. Jika Prabowo menepati janjinya, Indonesia bisa memasuki babak baru dalam perlindungan hak-hak pekerja.