
Kementerian Agama (Kemenag) kembali membuat gebrakan dalam dunia pendidikan. Mulai tahun ajaran 2025/2026, Kemenag bersiap menerapkan kurikulum berbasis cinta di seluruh madrasah di Indonesia. Langkah ini bertujuan menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki empati, kasih sayang, dan akhlak mulia.
Kurikulum Berbasis Cinta: Apa Itu dan Mengapa Penting?
Kurikulum berbasis cinta adalah pendekatan pendidikan yang menekankan nilai-nilai kasih sayang, toleransi, empati, dan akhlak mulia dalam proses belajar mengajar. Fokus utamanya bukan hanya pada pencapaian akademik, tetapi juga pada pembentukan karakter dan kesehatan mental peserta didik.
Menurut Kemenag, kurikulum ini lahir dari keprihatinan terhadap maraknya kekerasan, perundungan, hingga penurunan rasa kepedulian antar pelajar. Oleh karena itu, kurikulum berbasis cinta hadir sebagai solusi untuk membangun madrasah yang aman, inklusif, dan penuh kasih.
Implementasi Bertahap: Dimulai dari Guru dan Lingkungan Belajar
Kemenag akan memulai implementasi kurikulum ini secara bertahap. Langkah awal dimulai dengan pelatihan guru madrasah agar mereka memahami filosofi cinta dalam pendidikan. Pelatihan ini mencakup strategi mengajar dengan empati, pendekatan non-kekerasan, dan komunikasi positif dengan siswa.
Selanjutnya, lingkungan belajar juga akan disesuaikan. Madrasah akan didorong menciptakan suasana belajar yang ramah, terbuka, dan menghargai perbedaan. Poster-poster inspiratif, ruang konseling, serta kegiatan sosial akan menjadi bagian dari ekosistem pembelajaran.
Konten Pelajaran yang Diubah Lebih Manusiawi dan Relevan
Selain metode pengajaran, konten pelajaran juga mengalami penyesuaian. Misalnya, dalam pelajaran agama, siswa tidak hanya belajar hafalan, tetapi juga diajak merenungi makna kasih sayang dalam kehidupan sehari-hari.
Tak hanya itu, pelajaran PKN dan Bahasa Indonesia juga akan memuat kisah-kisah inspiratif tentang empati, persahabatan, dan perdamaian. Kegiatan proyek sosial seperti kunjungan ke panti asuhan atau program berbagi juga masuk ke dalam kurikulum.
Dengan begitu, siswa tidak hanya mengetahui konsep cinta, tapi juga mempraktikkannya secara nyata dalam kehidupan.
Respons Positif dari Berbagai Kalangan
Kebijakan ini mendapat sambutan hangat dari berbagai kalangan. Banyak orang tua, guru, hingga psikolog pendidikan memuji langkah progresif Kemenag.
Menurut psikolog pendidikan, pendekatan berbasis cinta bisa menjadi kunci dalam menciptakan generasi yang sehat secara emosional dan sosial. Dalam jangka panjang, ini juga akan menurunkan angka kekerasan di sekolah dan meningkatkan kualitas interaksi antar siswa.
Kesimpulan: Saatnya Madrasah Menjadi Tempat yang Mendidik dan Menyayangi
Kemenag membuktikan bahwa pendidikan tidak hanya soal nilai ujian, tetapi juga tentang membangun manusia yang utuh. Dengan kurikulum berbasis cinta, madrasah diharapkan menjadi ruang yang bukan hanya mencerdaskan, tetapi juga mengasihi.
Ini bukan sekadar reformasi kurikulum, tapi gerakan moral untuk masa depan Indonesia yang lebih damai dan beradab.