
Kebijakan Dedi Mulyadi yang mengirim siswa bermasalah ke barak militer menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Di satu sisi, program ini disebut sebagai solusi untuk mendisiplinkan anak. Namun di sisi lain, LBH Pendidikan Indonesia menilai kebijakan tersebut berpotensi melanggar hak anak. Hal ini mendorong mereka untuk melaporkannya ke Komnas HAM.
Awal Mula Kontroversi: Barak Militer untuk Anak Nakal
Program yang diluncurkan oleh Dedi Mulyadi ini bertujuan untuk membina anak-anak yang terlibat dalam perilaku menyimpang, seperti tawuran, geng motor, hingga perundungan. Alih-alih dikeluarkan dari sekolah, para siswa ini dikirim ke barak militer selama hampir sebulan untuk menjalani pembinaan disiplin.
Mereka harus bangun pukul 4 pagi, melakukan ibadah, olahraga, mengikuti pelajaran, serta tidur pada jam yang telah ditentukan. Dedi menyebut pendekatan ini sebagai bagian dari “pendidikan karakter berbasis ketegasan”.
LBH Pendidikan Menilai Ada Potensi Pelanggaran HAM
LBH Pendidikan Indonesia tidak tinggal diam. Mereka menyampaikan laporan resmi ke Komnas HAM, menyebut bahwa program ini berpotensi melanggar hak-hak dasar anak. Menurut mereka, penggunaan pendekatan militer dalam pendidikan sipil tidak hanya tidak memiliki dasar hukum, tetapi juga bisa menimbulkan trauma psikologis bagi peserta.
Lebih lanjut, mereka menilai bahwa pendidikan seharusnya dilakukan dengan pendekatan yang humanis dan partisipatif. Barak militer dinilai bertolak belakang dengan semangat pendidikan inklusif yang mengedepankan perlindungan anak.
Komnas HAM dan KPAI Angkat Suara
Merespons laporan tersebut, Komnas HAM menyatakan akan menelaah program ini secara menyeluruh. Mereka juga menyoroti keterlibatan institusi militer dalam urusan pendidikan sipil, yang dinilai tidak memiliki kewenangan hukum.
Selain itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menambahkan bahwa penanganan anak-anak dengan perilaku menyimpang seharusnya melibatkan psikolog, guru, dan orang tua. Pendekatan militeristik dianggap tidak menyelesaikan akar masalah perilaku tersebut.
Pembelaan Dedi Mulyadi: Tidak Ada Kekerasan Fisik
Di sisi lain, Dedi Mulyadi bersikeras bahwa tidak ada pelanggaran hak asasi dalam program ini. Ia menyatakan bahwa metode yang digunakan tidak mengandung kekerasan fisik, dan seluruh aktivitas dilakukan secara terpantau.
Menurutnya, program ini justru menyelamatkan masa depan anak-anak yang sebelumnya nyaris putus sekolah. Ia bahkan mengundang Komnas HAM dan KPAI untuk melihat langsung pelaksanaan di lapangan.
Kesimpulan: Solusi atau Ancaman bagi Hak Anak?
Perdebatan ini menyoroti dilema antara upaya mendisiplinkan anak dan menjaga hak-hak dasarnya. Meskipun niat awal dari program barak militer ini adalah positif, metode yang digunakan harus tetap berada dalam koridor hukum dan prinsip perlindungan anak.
Diperlukan dialog terbuka antara pemerintah daerah, pegiat HAM, dan ahli pendidikan untuk mencari solusi terbaik. Yang pasti, pendekatan pendidikan harus selalu memanusiakan anak—bukan menakut-nakuti mereka.