
Belakangan ini, publik dihebohkan dengan usulan yang menyarankan agar anak-anak yang dianggap nakal dikirim ke barak militer (TNI) untuk dibina dengan kedisiplinan ala militer. Gagasan ini muncul sebagai respons atas meningkatnya kenakalan remaja, mulai dari tawuran hingga pelanggaran hukum ringan lainnya.
Meski tampak menarik di permukaan, terutama bagi mereka yang mendambakan ketertiban dan kedisiplinan generasi muda, usulan ini langsung menuai kontroversi dari berbagai kalangan, termasuk praktisi pendidikan dan psikolog anak.
Wamen Pendidikan Dasar Menilai Usulan Itu Kurang Tepat
Menanggapi hal tersebut, Wakil Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Bidang Pendidikan Dasar, secara tegas menyatakan bahwa usulan tersebut tidak sejalan dengan pendekatan pendidikan yang berorientasi pada perkembangan anak. Ia menilai bahwa mengirim anak ke barak militer bukanlah solusi mendasar atas permasalahan perilaku remaja.
“Anak-anak yang berperilaku menyimpang tidak bisa diselesaikan dengan hukuman keras atau pendekatan militer. Mereka butuh pemahaman, pembinaan karakter, dan pendampingan psikologis,” ujar Wamen tersebut dalam pernyataan resminya.
Pendidikan Karakter Lebih Efektif daripada Pendekatan Militeristik
Alih-alih mengadopsi pendekatan yang bersifat keras dan represif, Wamen menyarankan agar pendidikan karakter diperkuat melalui kurikulum dan aktivitas sekolah. Program seperti pembelajaran berbasis proyek, konseling, dan kegiatan ekstrakurikuler dinilai lebih mampu membentuk sikap dan empati anak.
Lebih lanjut, pendekatan seperti pemulihan berbasis komunitas (restorative justice) juga dinilai cocok untuk menangani perilaku menyimpang tanpa harus menghilangkan hak anak atas pendidikan dan perlindungan.
Tanggapan Pakar dan Aktivis Anak
Sejalan dengan pandangan Wamen, sejumlah psikolog dan pemerhati anak juga menyatakan kekhawatiran mereka terhadap wacana tersebut. Menurut mereka, barak militer bukan lingkungan yang sesuai untuk anak-anak, apalagi yang sedang dalam masa pertumbuhan emosional.
“Tekanan dan kedisiplinan ekstrem justru bisa menimbulkan trauma, bukan perubahan positif,” kata seorang psikolog anak dalam wawancara dengan media nasional.
Sebaliknya, pendampingan berbasis kasih sayang dan pemahaman terbukti lebih efektif dalam membantu anak menyadari kesalahannya serta memperbaiki perilakunya secara jangka panjang.
Solusi Holistik Jadi Kebutuhan Mendesak
Peningkatan kenakalan remaja memang menjadi persoalan serius yang perlu ditangani. Namun, solusinya harus bersifat holistik dan berkelanjutan. Pemerintah, sekolah, orang tua, dan masyarakat perlu membentuk sinergi dalam membangun sistem pendidikan yang tak hanya fokus pada akademik, tetapi juga pada perkembangan karakter dan nilai moral.
Wamen pun menegaskan bahwa Kemendikbudristek siap memperluas program pendidikan karakter dan konseling di sekolah, termasuk pelatihan guru agar mampu menangani dinamika perilaku siswa dengan pendekatan yang tepat.
Kesimpulan: Anak Bukan Masalah, Tapi Harapan Masa Depan
Anak yang nakal bukan untuk dihukum dengan keras, melainkan dibina dan didampingi agar kembali ke jalur yang benar. Usulan mengirim mereka ke barak TNI mungkin lahir dari niat baik, namun perlu dikaji lebih dalam agar tidak justru melukai perkembangan psikologis mereka.
Pendidikan adalah alat transformasi, bukan alat hukuman. Oleh karena itu, pendekatan yang manusiawi dan edukatif harus tetap menjadi prioritas dalam menangani generasi muda bangsa.