
Setiap kali undangan pernikahan datang, senyum saya muncul… di permukaan. Di baliknya, ada campuran rasa: senang untuk mereka, tapi juga perih yang pelan-pelan mengendap. Teman-teman sebaya satu per satu melangkah ke pelaminan, membangun hidup baru. Sementara saya? Saya justru menutup lembar pernikahan lebih awal.
Ini bukan kisah sedih yang meminta simpati. Ini tentang realita yang dialami sebagian perempuan—bahkan banyak—yang tak lagi berjalan di jalur “standar” kehidupan. Dan itu tak apa-apa.
Perceraian Bukan Akhir, Tapi Awal yang Baru
Pernikahan saya dulu dimulai dengan cinta dan harapan besar. Namun, seiring waktu, kenyataan menunjukkan sisi lain. Komunikasi memburuk, kepercayaan luntur, dan akhirnya… saya memilih pergi.
Pilihan untuk bercerai bukan keputusan semalam. Saya melewatinya dengan penuh pertimbangan. Dan meskipun berat, saya percaya bahwa meninggalkan hubungan yang tidak sehat adalah bentuk keberanian, bukan kegagalan.
Kini, saya menjanda. Status yang masih kerap dipandang miring di masyarakat. Tapi saya belajar untuk tidak membiarkan label menentukan harga diri saya.
Saat Dunia Terlihat Melaju, Saya Menata Ulang Arah
Sulit rasanya ketika media sosial penuh dengan foto-foto prewedding, resepsi, dan bayi mungil. Di usia yang sama, saya justru belajar membangun ulang hidup seorang diri. Namun perlahan, saya mulai melihat bahwa perjalanan setiap orang memang berbeda.
Ada yang menikah muda dan bahagia, ada yang menikah lalu bercerai, ada juga yang masih mencari. Semua sah, semua valid.
Yang penting adalah bagaimana kita tetap melangkah, meski tak lagi berdua.
Membangun Diri Lagi Setelah Runtuh
Menjanda bukan berarti hidup berhenti. Justru dari titik terendah itulah saya mulai menyusun ulang siapa saya dan apa yang saya mau. Saya kembali bekerja, mengejar hobi, dan yang paling penting: merawat diri.
Saya menemukan kebahagiaan kecil dari hal-hal sederhana—dari menikmati kopi pagi tanpa terburu-buru, hingga menertawakan ulang drama Korea di tengah malam.
Saya juga dikelilingi teman-teman yang mendukung, bahkan yang dulu saya pikir akan menjauh karena status saya. Ternyata, banyak yang memeluk, bukan menjauh.
Penutup: Hidup Tak Harus Sama untuk Jadi Bahagia
Jalan hidup memang tak selalu seirama. Ketika teman sebaya menikah dan saya menjanda, bukan berarti saya tertinggal. Saya hanya berjalan di jalur yang berbeda.
Saya belajar bahwa bahagia tak harus datang dari pasangan. Bahagia bisa lahir dari penerimaan diri, kebebasan memilih arah, dan keberanian untuk berdiri sendiri.
Jika kamu juga sedang berada di posisi yang serupa, ingat: kamu tidak sendiri. Dan kamu tetap berharga—dengan atau tanpa pasangan.