Partai Solidaritas Indonesia (PSI) kembali menjadi sorotan setelah mengkritik keras Peraturan Gubernur (Pergub) Jakarta yang mengizinkan Aparatur Sipil Negara (ASN) di Jakarta untuk berpoligami. Kebijakan ini dinilai kontroversial dan berpotensi menciptakan ketimpangan sosial. Dalam artikel ini, kita akan membahas mengapa kebijakan tersebut menuai kritik tajam, serta dampaknya terhadap masyarakat.
Apa Itu Pergub Jakarta yang Izinkan ASN Poligami?
Pada awal tahun 2025, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, mengeluarkan Peraturan Gubernur yang mengatur tentang izin bagi ASN untuk berpoligami dalam kondisi tertentu. Pergub ini memungkinkan pegawai negeri di Jakarta untuk memiliki lebih dari satu istri, dengan syarat-syarat yang ketat. Tentu saja, keputusan ini langsung memicu berbagai reaksi, baik positif maupun negatif.
Pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengklaim bahwa aturan ini dibuat untuk menghormati hak-hak individu berdasarkan keyakinan agama. Namun, keputusan tersebut tidak serta merta diterima begitu saja oleh seluruh elemen masyarakat, terutama oleh partai-partai politik yang berfokus pada keadilan sosial dan kesetaraan.
Kritik Keras dari PSI terhadap Kebijakan Ini
PSI, yang dikenal dengan platform politik progresifnya, langsung memberikan tanggapan keras terhadap pergub tersebut. Menurut PSI, kebijakan ini bukan hanya melanggar prinsip kesetaraan gender, tetapi juga dapat merusak stabilitas sosial dan kesejahteraan masyarakat. Mereka berargumen bahwa mengizinkan ASN berpoligami justru membuka peluang untuk diskriminasi terhadap perempuan di lingkungan kerja.
Partai ini menilai bahwa kebijakan tersebut lebih memprioritaskan kebebasan individu tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap masyarakat. PSI mengingatkan bahwa, dalam konteks ASN, seharusnya kebijakan yang diambil dapat menciptakan kesetaraan, bukan justru memperburuk ketidakadilan.
Dampak Sosial dari Kebijakan Poligami ASN
Mengizinkan ASN berpoligami bisa memiliki dampak sosial yang luas, terutama dalam hal kesetaraan gender. Poligami, dalam banyak kasus, dapat menciptakan ketimpangan antara laki-laki dan perempuan, terutama dalam hal hak dan perlakuan di tempat kerja. Perempuan yang menjadi bagian dari keluarga poligami sering kali menghadapi diskriminasi dan ketidakadilan, baik dalam hal ekonomi maupun status sosial.
Bagi banyak kalangan, kebijakan ini dianggap mundur dan bertentangan dengan semangat kesetaraan yang telah diupayakan dalam berbagai kebijakan sebelumnya. Dalam konteks ASN, yang seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat, tindakan ini bisa menciptakan persepsi negatif tentang bagaimana pemerintah memandang perempuan dan keluarga.
Harapan PSI: Kebijakan yang Mendorong Kesetaraan dan Keadilan
PSI mengusulkan agar kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta lebih fokus pada pemberdayaan perempuan dan penghapusan diskriminasi. Alih-alih mengizinkan poligami, PSI menyarankan agar pemerintah lebih mendorong kebijakan yang mendukung kesetaraan gender di tempat kerja, peningkatan kualitas pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi bagi perempuan.
PSI juga mengajak seluruh pihak untuk berfokus pada pencapaian keadilan sosial yang lebih inklusif, tanpa harus memaksakan kebijakan yang dapat memicu ketegangan sosial. Kebijakan yang lebih adil, menurut PSI, harus memberikan ruang yang sama bagi setiap individu untuk berkembang, tanpa memandang jenis kelamin atau status perkawinan.
Kesimpulan: Pergub Jakarta dan Implikasi Kebijakan
Peraturan Gubernur DKI Jakarta yang mengizinkan ASN berpoligami menuai kritik tajam, khususnya dari PSI. Meskipun alasan kebijakan ini berakar pada penghormatan terhadap keyakinan agama, namun dampak sosial dan ketidaksetaraan gender yang mungkin ditimbulkan jauh lebih besar. Kebijakan semacam ini seharusnya dipertimbangkan secara matang agar tidak menciptakan ketimpangan yang merugikan masyarakat, terutama perempuan.
Ke depan, diharapkan pemerintah dapat mengambil kebijakan yang lebih inklusif dan mendukung kesetaraan gender, demi terciptanya masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.