
Mantan Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, kembali menyita perhatian publik. Kali ini, ia mengusulkan penerapan pendidikan militer sebagai solusi untuk mengatasi maraknya kenakalan remaja di Indonesia. Menurutnya, disiplin yang dibentuk lewat sistem semi-militer bisa menanamkan tanggung jawab dan kedisiplinan sejak dini.
Dedi menyebut, generasi muda saat ini mulai kehilangan arah akibat terlalu bebas dalam menggunakan teknologi dan kurangnya bimbingan karakter. Oleh karena itu, pendidikan militer dinilai sebagai cara tegas untuk mengembalikan nilai-nilai kedisiplinan dan etika di kalangan remaja.
Namun, apakah solusi ini benar-benar efektif?
Tujuan Pendidikan Militer untuk Remaja
Gagasan ini bukan tanpa dasar. Dedi menjelaskan bahwa pendidikan militer yang ia maksud bukan untuk menjadikan anak-anak sebagai tentara, tetapi lebih pada pembentukan karakter melalui metode pelatihan fisik dan mental. Beberapa unsur yang akan dia tekankan antara lain:
- Disiplin waktu dan tanggung jawab
- Pembentukan mental tangguh
- Latihan baris-berbaris sebagai simbol ketaatan
- Pelatihan fisik untuk menjaga kesehatan dan kebugaran
Secara teori, pendekatan ini memang dapat memberi efek jera dan membentuk pribadi yang lebih tertata. Namun, pendekatan ini juga menuai kritik dari sejumlah kalangan.
Pandangan Pengamat: Solusi atau Ancaman Psikologis?
Menanggapi wacana ini, sejumlah pengamat pendidikan dan psikolog anak memberikan pandangan berbeda. Menurut Dr. Lestari Nurhajati, seorang psikolog perkembangan remaja, pendidikan militer tidak selalu menjadi solusi utama.
“Remaja bermasalah tidak serta merta harus dihadapi dengan ketegasan ekstrem. Kita harus memahami akar masalahnya terlebih dahulu. Jika tidak tepat sasaran, metode ini justru bisa menimbulkan trauma,” jelasnya.
Selain itu, Lestari menilai bahwa program seperti pendampingan psikologis, kegiatan ekstrakurikuler, hingga konseling di sekolah jauh lebih efektif untuk mencegah kenakalan remaja daripada sekadar penanaman disiplin militer.
Netizen Terbelah: Setuju Tapi Ragu
Reaksi netizen pun beragam. Di media sosial, sebagian besar mendukung gagasan ini karena dianggap bisa menekan tingkat tawuran dan bullying di sekolah. Namun, tidak sedikit yang menyayangkan pendekatan yang terkesan terlalu keras, apalagi bila diterapkan tanpa mekanisme seleksi psikologis.
Beberapa komentar menyoroti bahwa kenakalan remaja adalah tanggung jawab keluarga dan sistem pendidikan, bukan hanya karena kurangnya latihan fisik atau kedisiplinan.
Kesimpulan: Harus Seimbang, Bukan Sekadar Tegas
Gagasan Dedi Mulyadi soal pendidikan militer untuk remaja memang lahir dari niat baik: ingin memperbaiki moral dan karakter generasi muda. Namun, penerapannya perlu mempertimbangkan aspek psikologis dan pedagogis secara mendalam.
Alih-alih menerapkan sistem militer secara kaku, pendekatan yang lebih humanis dan menyentuh akar masalah justru bisa memberi hasil yang lebih positif. Jika digabungkan dengan metode pembinaan modern, pendidikan karakter berbasis kedisiplinan bisa menjadi jalan tengah yang ideal.
Masyarakat berharap, bila kebijakan ini benar-benar diwujudkan, regulasinya harus jelas, pendampingannya profesional, dan tidak menjadi alat untuk menekan secara emosional anak-anak yang justru butuh bimbingan, bukan tekanan.