
Setiap tahun ajaran baru berakhir, momen perpisahan sekolah selalu jadi sorotan. Namun belakangan, tren perpisahan justru mengalami pergeseran makna. Banyak siswa kini menuntut acara yang mewah, lengkap dengan sewa gedung mahal, baju seragam khusus, hingga make up artist profesional. Fenomena ini pun menuai respons dari tokoh masyarakat, salah satunya Dedi Mulyadi.
Dalam sebuah pernyataannya, Dedi Mulyadi menyentil keras gaya hidup mewah yang dipaksakan oleh siswa untuk acara perpisahan. “Kenapa gaya hidup selangit?” ujarnya. Komentar tersebut langsung menuai berbagai reaksi dari publik, baik yang mendukung maupun yang mengkritik.
Dedi Mulyadi: Kritik Tajam untuk Gaya Hidup Berlebihan
Dedi Mulyadi, yang dikenal sebagai tokoh publik sederhana dan dekat dengan masyarakat, menyampaikan kegelisahannya terhadap tren perpisahan yang berlebihan. Menurutnya, kegiatan yang seharusnya menjadi momen refleksi dan rasa syukur justru berubah menjadi ajang pemborosan dan pamer kekayaan.
Ia menyoroti bagaimana siswa, bahkan yang berasal dari keluarga biasa, merasa “harus ikut-ikutan” demi tidak tertinggal dari teman sekelas. Tekanan sosial ini sering kali membuat orang tua terbebani secara finansial.
“Kalau niatnya hanya untuk silaturahmi dan perpisahan, kenapa tidak dibuat sederhana saja?” tegas Dedi.
Fenomena Sosial: Tekanan Gaya Hidup dari Lingkungan Sekolah
Tren perpisahan mewah memang tidak terjadi tanpa sebab. Media sosial menjadi salah satu pemicu utamanya. Unggahan foto-foto acara glamor dari sekolah lain mendorong siswa untuk mengadakan acara serupa, agar tidak merasa ketinggalan zaman. Sayangnya, keinginan ini sering kali tidak dibarengi dengan pertimbangan ekonomi.
Transisi dari perpisahan sederhana menjadi acara megah bisa memberikan kesan eksklusif, tetapi juga menciptakan kesenjangan sosial. Banyak siswa yang akhirnya merasa dikucilkan jika tidak mampu berpartisipasi secara penuh.
Solusi Alternatif: Kembali ke Esensi Perpisahan
Melalui kritiknya, Dedi Mulyadi mengajak masyarakat untuk kembali pada makna sejati perpisahan. Ia menyarankan agar acara semacam ini lebih menekankan nilai kebersamaan, rasa syukur, dan doa untuk masa depan yang lebih baik.
Acara bisa diadakan di sekolah atau tempat yang tidak memerlukan biaya tinggi. Siswa bisa terlibat langsung dalam persiapan, yang juga melatih tanggung jawab dan kreativitas mereka. Bahkan, kegiatan sosial seperti bakti masyarakat atau donasi bisa menjadi alternatif bermakna dibanding hanya bersenang-senang.
Kesimpulan: Perpisahan Tak Harus Mewah, yang Penting Bermakna
Sentilan dari Dedi Mulyadi seharusnya menjadi refleksi bagi semua pihak—siswa, orang tua, dan pihak sekolah. Gaya hidup yang dipaksakan hanya akan menciptakan tekanan dan kesenjangan sosial. Perpisahan sekolah seharusnya menjadi momen penuh rasa syukur dan kenangan indah, bukan ajang pemborosan.
Oleh karena itu, mari kita ubah sudut pandang dan memaknai perpisahan sebagai akhir yang sederhana namun bermakna, tanpa harus bergaya hidup selangit.