
Presiden ke-5 Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri, kembali menyuarakan gagasan strategis dalam kancah politik internasional. Dalam sebuah pidato penting baru-baru ini, Megawati mengusulkan agar Konferensi Asia-Afrika (KAA) digelar kembali dalam format “Jilid II.” Menurutnya, situasi global yang semakin tidak menentu membutuhkan solidaritas baru antar negara-negara berkembang.
Usulan ini tentu bukan tanpa dasar. Megawati melihat bahwa semangat solidaritas dan anti-kolonialisme yang dulu menjadi roh utama KAA kini dibutuhkan kembali untuk menghadapi ketimpangan global yang terus melebar.
Latar Belakang Sejarah KAA
Konferensi Asia-Afrika pertama kali diselenggarakan di Bandung pada tahun 1955. Kala itu, para pemimpin dari 29 negara berkumpul untuk memperkuat kerja sama politik dan ekonomi serta menolak segala bentuk kolonialisme dan dominasi blok besar dunia. KAA menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan global dan menandai lahirnya Gerakan Non-Blok.
Megawati, yang merupakan putri dari Presiden Soekarno—salah satu inisiator utama KAA—menyebut bahwa kini saatnya semangat Bandung kembali dihidupkan. Ia menegaskan bahwa suara negara-negara Asia dan Afrika perlu kembali menggema dan didengar dalam pengambilan keputusan global.
Relevansi KAA di Tengah Dunia yang Berubah
Tidak dapat dimungkiri, tatanan dunia saat ini tengah menghadapi berbagai tantangan: perubahan iklim, ketimpangan ekonomi, perang dagang, hingga konflik geopolitik yang meruncing. Negara-negara berkembang kerap kali menjadi pihak yang paling terdampak, namun tidak memiliki suara seimbang dalam forum-forum global seperti G20 atau PBB.
Oleh karena itu, Megawati menyarankan agar KAA Jilid II tak hanya menjadi forum simbolik, tetapi juga forum aksi konkret. Ia ingin agar negara-negara peserta mampu merumuskan strategi bersama yang kuat, mulai dari isu pangan, teknologi, pendidikan, hingga ketahanan energi.
Indonesia Siap Jadi Tuan Rumah
Sebagai penggagas utama, Indonesia disebut siap menjadi tuan rumah Konferensi Asia-Afrika Jilid II. Selain karena faktor sejarah, Indonesia dinilai memiliki posisi strategis secara politik dan geografis di tengah pertarungan kekuatan besar dunia. Pemerintah pun menunjukkan antusiasme terhadap ide ini, terutama sebagai bagian dari upaya diplomasi aktif dan memperkuat posisi Indonesia di kancah global.
Langkah ini juga dapat memperkuat citra Indonesia sebagai negara yang konsisten mendorong perdamaian dunia dan keadilan global.
Kesimpulan: KAA Jilid II Bukan Sekadar Nostalgia
Gagasan Megawati tentang KAA Jilid II bukan hanya romantisme sejarah. Ini adalah panggilan untuk membangun solidaritas baru di era ketidakpastian global. Dengan menggandeng negara-negara Asia dan Afrika, KAA Jilid II bisa menjadi langkah strategis untuk memperjuangkan kepentingan bersama dan menyuarakan keadilan global dari perspektif Selatan Dunia.
Kini, pertanyaannya bukan lagi “perlukah KAA diadakan kembali?”, melainkan “kapan dunia siap mendengarkan suara dari Asia dan Afrika sekali lagi?”