
Dalam praktik hukum pidana, pertanggungjawaban atas tindak pidana sering kali berhenti ketika terdakwa meninggal dunia. Namun, bagaimana jika kerugian negara telah nyata terjadi dan belum tergantikan? Sayangnya, hingga saat ini Indonesia masih menghadapi kekosongan hukum terkait penyitaan harta pengganti kerugian negara dari terdakwa yang sudah meninggal dunia.
Kematian Terdakwa dan Gugurnya Tuntutan Pidana
Menurut prinsip hukum pidana yang berlaku, tuntutan pidana gugur jika terdakwa meninggal dunia. Hal ini diatur dalam Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dengan demikian, proses peradilan pidana secara otomatis dihentikan.
Namun, ketika menyangkut kasus korupsi atau tindak pidana yang menyebabkan kerugian negara, masalah menjadi lebih kompleks. Negara tetap dirugikan, tetapi proses hukum terhadap pelaku utama tidak bisa dilanjutkan. Di sinilah muncul persoalan besar: bagaimana negara bisa memulihkan kerugian yang sudah terjadi?
Kekosongan Hukum: Celah yang Perlu Segera Ditutup
Sayangnya, hukum positif Indonesia belum mengatur secara tegas mekanisme untuk menyita atau mengeksekusi harta terdakwa yang meninggal dunia, khususnya jika belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Akibatnya, harta milik terdakwa yang mungkin berasal dari hasil kejahatan berpotensi diwariskan tanpa proses hukum yang adil bagi negara.
Berbeda dengan gugatan perdata, proses pidana membutuhkan pembuktian secara menyeluruh untuk menetapkan bahwa harta tersebut hasil tindak pidana. Ketika terdakwa meninggal sebelum putusan inkrah, negara kehilangan dasar hukum untuk melanjutkan upaya penyitaan.
Perbandingan dengan Sistem Hukum Negara Lain
Sebagai perbandingan, beberapa negara telah mengadopsi mekanisme non-conviction based asset forfeiture (penyitaan tanpa putusan pidana), yang memungkinkan negara menyita harta hasil tindak pidana meskipun pelaku sudah meninggal atau melarikan diri. Prinsip ini mengutamakan pemulihan aset ketimbang pemidanaan pelaku.
Indonesia sendiri sudah mulai menerapkan konsep ini secara terbatas, seperti dalam UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun, implementasinya masih lemah karena bergantung pada sistem pembuktian pidana yang belum fleksibel.
Urgensi Pembaruan Regulasi dan Solusi Hukum
Kekosongan hukum ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Diperlukan:
- Revisi UU Tipikor dan KUHAP untuk mengakomodasi penyitaan terhadap harta terdakwa yang telah meninggal.
- Penguatan sistem gugatan perdata oleh negara sebagai upaya pengembalian kerugian.
- Pengembangan instrumen hukum baru berbasis asset recovery, bukan semata pidana badan.
Selain itu, penguatan kerja sama lintas lembaga seperti KPK, Kejaksaan, dan Pengadilan Negeri sangat diperlukan agar pemulihan kerugian negara tetap bisa dilakukan meski tanpa terdakwa.
Kesimpulan: Jangan Biarkan Negara Rugi Dua Kali
Ketika terdakwa korupsi meninggal dunia, negara seolah “rugi dua kali”: kehilangan pelaku dan kehilangan hak untuk memulihkan kerugian. Untuk itu, pembaharuan hukum sangat mendesak demi melindungi keuangan negara dan menegakkan prinsip keadilan.