
Kabar duka menyelimuti Kabupaten Banyuwangi setelah jenazah Rizal, seorang warga Indonesia yang menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Kamboja, tiba di kampung halamannya. Kepulangan Rizal bukan hanya membawa kesedihan, tetapi juga membuka fakta baru tentang biaya tambahan yang harus ditanggung keluarga saat proses pemulangan jenazah. Berikut kisah menyayat hati yang sarat dengan pelajaran dan seruan keadilan.
Jenazah Tiba, Air Mata Tak Terbendung
Sesaat setelah peti jenazah dibuka, tangis keluarga Rizal langsung pecah. Sang ibu, yang selama ini menanti kepastian nasib anaknya, jatuh pingsan karena tidak kuasa menahan kesedihan. Warga sekitar turut hadir menyambut kepulangan Rizal dengan doa dan haru.
Rizal sebelumnya diberangkatkan secara ilegal untuk bekerja di Kamboja dengan iming-iming gaji tinggi. Namun, kenyataannya ia menjadi korban eksploitasi. Keluarga yang sebelumnya hanya mendengar kabar buram dari luar negeri, kini harus menerima kenyataan pahit: Rizal pulang dalam keadaan tak bernyawa.
Kisah Tragis di Balik Kepulangan
Tak hanya duka yang menyelimuti, proses pemulangan Rizal juga diwarnai ketegangan. Keluarga mengaku diminta membayar biaya tambahan yang tidak dijelaskan secara rinci. Meski jenazah akhirnya bisa dipulangkan, mereka merasa seperti “ditodong” di tengah situasi yang sudah sangat berat.
Menurut pengakuan pihak keluarga, ada biaya tambahan yang disebut “biaya administrasi dan logistik”, namun nominalnya berubah-ubah. Hal ini tentu memunculkan pertanyaan: apakah ada transparansi dalam prosedur pemulangan jenazah dari luar negeri, terutama korban TPPO?
Apa Kata Pemerintah dan Lembaga Terkait?
Pihak pemerintah daerah dan lembaga pendamping korban TPPO menyampaikan rasa duka mendalam atas kepergian Rizal. Mereka juga menyayangkan adanya pungutan tambahan yang dinilai tidak wajar.
Beberapa pejabat telah menegaskan bahwa pemulangan jenazah WNI dari luar negeri, apalagi korban TPPO, seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Biaya yang timbul seharusnya ditanggung oleh pemerintah melalui kementerian terkait. Saat ini, investigasi terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam pemulangan tersebut masih berlangsung.
Panggilan untuk Keadilan dan Perlindungan
Kematian Rizal menambah panjang daftar korban TPPO yang terlantar atau tewas di negara asing. Banyak di antara mereka dijanjikan pekerjaan layak, namun justru terjebak dalam praktik kerja paksa, perdagangan manusia, bahkan kekerasan.
Tragedi ini seharusnya menjadi pengingat bagi semua pihak: perlindungan terhadap WNI di luar negeri, khususnya dari jerat TPPO, harus menjadi prioritas nasional. Pemerintah, aparat hukum, dan masyarakat perlu bersinergi agar tidak ada lagi “Rizal-Rizal” lain yang bernasib serupa.
Penutup: Harapan dari Duka
Meskipun Rizal telah tiada, kisahnya belum selesai. Duka keluarganya harus menjadi cambuk bagi semua pihak untuk memperkuat upaya pemberantasan perdagangan manusia. Tidak hanya dalam bentuk regulasi, tetapi juga melalui aksi nyata di lapangan.