
Di tengah meningkatnya volume kendaraan di Jakarta, pemerintah terus mencari solusi untuk mengatasi kemacetan. Dua kebijakan yang saat ini menjadi sorotan adalah sistem Ganjil Genap dan ERP (Electronic Road Pricing). Meski sekilas terlihat serupa karena sama-sama membatasi pergerakan kendaraan, keduanya memiliki perbedaan mendasar dalam konsep dan penerapannya.
Jika sistem ganjil genap hanya berlaku pada jam-jam tertentu dan berdasarkan pelat nomor kendaraan, ERP justru menggunakan sistem pembayaran elektronik berbasis jalan. Artinya, setiap kendaraan yang melintasi jalan tertentu pada waktu tertentu akan dikenakan biaya, tanpa memandang jenis atau sumber energinya.
Kendaraan Listrik Dikecualikan di Ganjil Genap
Sebagai bagian dari upaya transisi energi bersih, kendaraan listrik sebelumnya mendapat keistimewaan dari pemerintah DKI Jakarta. Dalam sistem ganjil genap, mobil listrik tidak dikenakan pembatasan. Hal ini bertujuan untuk mendorong penggunaan kendaraan ramah lingkungan dan mengurangi emisi karbon di Ibu Kota.
Banyak pemilik mobil listrik pun merasa diuntungkan. Mereka bebas melintasi jalan protokol tanpa terpengaruh aturan ganjil genap, bahkan di jam sibuk sekalipun.
Namun kini, dengan adanya ERP, keistimewaan tersebut tak lagi berlaku.
ERP Tak Pandang Bulu, Termasuk Kendaraan Listrik
Kebijakan ERP dirancang dengan pendekatan berbeda. Tujuannya bukan hanya mengurangi polusi, tetapi menekan volume kendaraan pribadi secara menyeluruh, termasuk kendaraan listrik. Menurut Dinas Perhubungan DKI Jakarta, kendaraan listrik tetap akan dikenakan tarif ERP karena sistem ini fokus pada pembatasan mobilitas, bukan pada jenis bahan bakar yang digunakan.
Dengan kata lain, meskipun mobil listrik ramah lingkungan, mereka tetap menyumbang kemacetan jika digunakan secara masif. Oleh karena itu, pemerintah menilai wajar apabila semua jenis kendaraan—baik berbahan bakar bensin maupun listrik—ikut membayar ketika melintasi jalan-jalan yang dikenai ERP.
Tujuan Utama ERP: Mengurangi Ketergantungan pada Kendaraan Pribadi
Meskipun menuai pro dan kontra, penerapan ERP sebenarnya memiliki tujuan jangka panjang yang lebih besar. Sistem ini diharapkan bisa mengurangi ketergantungan warga terhadap kendaraan pribadi dan mendorong penggunaan transportasi umum.
Langkah ini sejalan dengan visi Pemprov DKI Jakarta yang ingin membangun kota berkelanjutan dan ramah lingkungan. Oleh sebab itu, pembebanan biaya lewat ERP tidak hanya soal pemasukan, tapi juga bentuk pengendalian perilaku masyarakat dalam memilih moda transportasi.
Respons Warga dan Pemilik Kendaraan Listrik
Sebagian pengguna kendaraan listrik mengaku kecewa karena harus membayar tarif ERP meskipun sudah memilih opsi transportasi yang lebih ramah lingkungan. Namun, ada juga yang memahami alasan di balik kebijakan ini, karena pada dasarnya kemacetan bisa tetap terjadi meski semua kendaraan menggunakan energi bersih.
Pemerintah pun membuka ruang dialog dan akan menyediakan skema tarif yang adil serta transparan, agar kebijakan ini tidak memberatkan masyarakat namun tetap efektif dalam menekan kepadatan lalu lintas.
Kesimpulan: Kendaraan Listrik Tak Kebal, Semua Wajib Tertib
Meskipun kendaraan listrik sempat menikmati pengecualian dalam sistem ganjil genap, kini mereka harus bersiap menghadapi era ERP yang lebih tegas dan menyeluruh. Tujuannya bukan untuk menghukum, tetapi untuk menciptakan Jakarta yang lebih tertib, lancar, dan ramah bagi semua.
Pengendara kini perlu bijak dalam memilih waktu dan rute perjalanan, atau bahkan mulai mempertimbangkan transportasi umum sebagai alternatif yang lebih efisien dan hemat.