
Generasi Z, yang lahir di era digital, menjadikan media sosial sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Mereka tumbuh dengan Instagram, TikTok, dan Twitter sebagai ruang untuk mengekspresikan diri, berbagi pendapat, hingga membangun personal branding. Namun, kebebasan berekspresi yang mereka nikmati sering kali menimbulkan anggapan negatif: terlalu bebas, kurang etis, bahkan cenderung impulsif.
Tak heran, banyak pihak memandang Gen Z sebagai generasi yang kurang mampu menyaring informasi dan terlalu terbuka dalam membagikan kehidupan pribadi secara daring.
Kebebasan yang Memicu Citra Negatif
Kebebasan Gen Z di media sosial seringkali dianggap berlebihan. Mereka bebas mengomentari isu sosial, membahas politik, atau membagikan opini pribadi secara terang-terangan. Di satu sisi, ini mencerminkan keberanian dan keterbukaan pikiran. Namun di sisi lain, hal ini bisa menciptakan kesan kurang bijak dan kurang menghargai batasan.
Misalnya, maraknya budaya oversharing atau membagikan terlalu banyak informasi pribadi bisa membahayakan keamanan diri. Tak hanya itu, komentar impulsif dan konten kontroversial seringkali viral tanpa dipikirkan dampaknya terlebih dahulu.
Akibatnya, muncul citra bahwa Gen Z tidak memiliki filter dalam berkomunikasi di dunia maya. Stereotip inilah yang melekat kuat, terutama di mata generasi yang lebih tua.
Di Balik Layar: Alasan Gen Z Terlihat Bebas
Namun, sebelum menghakimi, penting untuk memahami konteks yang membentuk perilaku ini. Gen Z hidup di era keterbukaan, di mana kecepatan informasi dan tekanan untuk “selalu eksis” sangat tinggi. Media sosial bukan hanya tempat hiburan, tetapi juga menjadi platform aktualisasi diri, ruang advokasi, bahkan peluang kerja.
Tekanan untuk tampil relevan dan “on-brand” mendorong mereka untuk tampil lebih berani dan spontan. Mereka juga lebih terbiasa dengan budaya diskusi terbuka dan menganggap kebebasan berbicara sebagai hak yang harus dijaga.
Sayangnya, tanpa edukasi digital yang tepat, kebebasan ini bisa disalahartikan atau disalahgunakan.
Tantangan Literasi Digital dan Etika Online
Kunci utama untuk mengatasi citra negatif ini adalah peningkatan literasi digital dan etika bermedia sosial. Gen Z perlu dibekali kemampuan menyaring informasi, memahami batasan privasi, serta menyadari konsekuensi dari setiap unggahan mereka.
Di saat yang sama, publik perlu melihat Gen Z dengan lebih objektif. Mereka bukan hanya pengguna media sosial yang bebas tanpa arah, tetapi juga generasi dengan semangat kritis, kreatif, dan punya potensi besar membawa perubahan positif—asal diarahkan dengan bijak.
Kesimpulan: Saatnya Menyikapi Lebih Bijak
Citra negatif bahwa Gen Z terlalu bebas di media sosial bukan tanpa alasan, namun juga bukan vonis mutlak. Dengan pendekatan edukatif dan empati lintas generasi, kebebasan mereka bisa diubah menjadi kekuatan yang berdampak positif. Kebebasan berekspresi tetap penting, selama dibarengi dengan kesadaran dan tanggung jawab.