
Gen Alpha adalah generasi yang lahir mulai tahun 2010 hingga pertengahan 2020-an. Mereka tumbuh di tengah kemajuan teknologi yang sangat pesat. Sejak kecil, mereka telah terbiasa menggunakan gawai, aplikasi pintar, dan media sosial. Oleh karena itu, bukan hal mengejutkan jika gaya hidup mereka terlihat sangat berbeda dibanding generasi sebelumnya.
Menariknya, banyak orang tua dan pengamat sosial mulai menyadari satu karakteristik unik dari generasi ini: mereka bossy, dominan, dan suka mengatur. Apa sebenarnya yang membuat mereka seperti itu?
Lingkungan Digital Membentuk Karakter Dominan
Pertama-tama, kita perlu melihat lingkungan tempat Gen Alpha tumbuh. Anak-anak generasi ini hidup di dunia serba instan dan terkoneksi. Mereka tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi juga produsen konten sejak usia dini. Lewat YouTube, TikTok, atau bahkan game online, mereka belajar mengambil keputusan, membentuk opini, dan mengatur strategi. Semua ini secara tidak langsung melatih kemampuan kepemimpinan dan dorongan untuk mengatur.
Selain itu, algoritma digital memberikan ruang bagi mereka untuk merasa sebagai pusat dunia. Konten yang ditampilkan selalu disesuaikan dengan preferensi mereka. Akibatnya, mereka tumbuh dengan perasaan bahwa dunia harus mengikuti mereka, bukan sebaliknya.
Gaya Komunikasi yang Tegas dan Percaya Diri
Berbeda dengan generasi sebelumnya yang lebih sopan dan sering kali pasif, Gen Alpha menunjukkan gaya komunikasi yang tegas, bahkan terkadang terlihat bossy. Mereka terbiasa mengekspresikan keinginan tanpa ragu. Dalam lingkungan keluarga maupun sekolah, mereka tidak segan memberikan pendapat atau mengatur orang lain jika merasa punya solusi lebih baik.
Hal ini bisa menjadi nilai positif jika diarahkan dengan tepat. Anak-anak ini memiliki potensi besar menjadi pemimpin masa depan yang mampu membuat keputusan cepat dan tepat. Namun, tanpa bimbingan yang baik, sikap dominan ini bisa berkembang menjadi egois dan sulit bekerja sama.
Orang Tua dan Guru Perlu Adaptif
Peran orang tua dan guru sangat penting dalam menghadapi karakter Gen Alpha. Mereka tidak bisa lagi menggunakan pendekatan otoriter seperti di masa lalu. Sebaliknya, dibutuhkan komunikasi dua arah dan sikap terbuka terhadap pendapat anak. Ketika anak terlihat terlalu suka mengatur, alih-alih dimarahi, lebih baik diajak berdiskusi tentang cara berkomunikasi yang lebih efektif dan empatik.
Selain itu, penting juga memberikan ruang bagi anak untuk mengambil keputusan sendiri. Dengan begitu, mereka belajar bertanggung jawab atas pilihan mereka, bukan sekadar mengatur tanpa pertimbangan.
Kesimpulan: Bossy Bukan Masalah, Jika Dibimbing dengan Benar
Gaya hidup bossy, dominan, dan suka mengatur pada Gen Alpha bukanlah sebuah ancaman. Justru ini merupakan sinyal awal dari karakter pemimpin masa depan. Mereka tidak takut mengambil peran aktif dalam berbagai aspek kehidupan. Namun, penting bagi lingkungan sekitar untuk membimbing mereka dengan cara yang positif.
Dengan dukungan yang tepat, karakter dominan ini bisa berubah menjadi modal berharga bagi masa depan mereka. Gen Alpha bukan generasi manja, mereka hanya perlu diarahkan agar gaya hidup bossy mereka menjadi kekuatan, bukan kelemahan.