
Korea Selatan dikenal sebagai negara dengan sistem pendidikan yang sangat kompetitif. Namun, di balik prestasi akademik yang tinggi, tersimpan realitas kelam: semakin banyak siswa sekolah dasar mengalami gejala depresi sejak usia dini.
Berdasarkan laporan dari Kementerian Pendidikan Korea Selatan, kasus depresi di kalangan pelajar SD meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan, survei terbaru menunjukkan bahwa anak-anak berusia 9 hingga 12 tahun mulai mengalami kecemasan kronis, sulit tidur, dan tekanan emosional yang berat.
🧠 Tekanan Akademik Jadi Biang Masalah
Salah satu penyebab utama krisis ini adalah tekanan akademik yang berlebihan. Anak-anak di Korea Selatan mengikuti sistem pembelajaran yang padat, penuh ujian, dan target nilai tinggi. Tak jarang, mereka sudah mengikuti les tambahan bahkan sejak kelas 1 SD.
Orangtua juga berperan besar dalam menambah beban ini. Banyak dari mereka menuntut anak untuk selalu menjadi yang terbaik, tanpa memedulikan kondisi psikologis anak tersebut. Hal ini menciptakan lingkungan yang kurang ramah secara emosional, di mana kegagalan menjadi sesuatu yang tidak dapat diterima.
📊 Fakta yang Mengkhawatirkan
- Menurut data Korea Educational Development Institute (KEDI), lebih dari 30% siswa SD merasa “selalu cemas” menjelang ujian.
- Sekitar 1 dari 5 anak mengalami gejala depresi ringan hingga sedang.
- Lebih dari 40% anak menyebut bahwa waktu bermain mereka semakin berkurang karena harus belajar terus-menerus.
Data tersebut menegaskan bahwa beban belajar yang terlalu berat bisa menggerus kebahagiaan masa kanak-kanak.
💬 Suara dari Para Ahli dan Psikolog
Psikolog anak Korea, Dr. Min-Ji Hwang, menekankan pentingnya keseimbangan. Ia berkata, “Anak-anak bukan robot. Mereka membutuhkan waktu untuk bermain, istirahat, dan bersosialisasi agar tumbuh dengan sehat secara mental.”
Ia juga menyarankan agar sekolah dan keluarga lebih peka terhadap tanda-tanda awal stres atau depresi, seperti anak yang menjadi pendiam, enggan sekolah, atau mengalami gangguan tidur.
🛠️ Solusi yang Mulai Dijalankan
Sebagai tanggapan, pemerintah Korea Selatan mulai menerapkan beberapa inisiatif, seperti:
- Mengurangi jumlah ujian di sekolah dasar.
- Menyediakan layanan konseling psikologis gratis di sekolah.
- Mendorong aktivitas non-akademik seperti seni dan olahraga sebagai bagian dari kurikulum.
Langkah-langkah ini dinilai sebagai awal yang baik, meskipun dibutuhkan kerja sama jangka panjang dari seluruh pihak, termasuk orangtua.
🧩 Kesimpulan: Saatnya Ubah Pola Pikir
Kesehatan mental anak harus menjadi prioritas utama. Pendidikan memang penting, tetapi tidak seharusnya mengorbankan kesejahteraan emosional anak. Korea Selatan memberikan kita pelajaran bahwa pencapaian akademik tinggi tidak boleh dibayar dengan masa kecil yang hilang.